GPT-5: Super Canggih, Tapi Kenapa Diprotes Penggunanya Sendiri?

Halo Technokers!

Pasti banyak di antara kalian yang udah mulai merasa cocok dengan GPT-4o, kan? Rasanya baru kemarin kita nemuin AI yang akhirnya terasa 'pas', yang bisa diajak mikir bareng buat kerjaan, bukan cuma jadi mainan. Sudah mulai jadi andalan, sudah masuk ke alur kerja sehari-hari.

Nah, di dunia teknologi, momen nyaman seperti itu biasanya adalah pertanda. Pertanda bahwa sesuatu yang baru sudah di depan mata.

Benar saja. Belum lama kita akrab dengan GPT-4o, OpenAI sudah memperkenalkan penerusnya: GPT-5, yang resmi meluncur pada 7 Agustus 2025.

Tapi ceritanya kali ini sedikit berbeda. Kalau biasanya produk baru disambut dengan antusiasme penuh, peluncuran GPT-5 justru diiringi banyak sekali perdebatan. Uniknya, keluhan dan kritik justru datang paling kencang dari para pengguna setianya sendiri.

Jadi, ada apa sebenarnya? Mari kita lihat lebih dalam.

Di Balik Layar: Otak GPT-5 Ternyata Bukan Cuma Satu

Oke, yang bikin GPT-5 ini beda banget itu cara kerjanya. Coba bayangin GPT-5 bukan sebagai satu karyawan super, tapi sebagai seorang manajer proyek yang pegang beberapa staf ahli.

Di dalam sistemnya, ada "staf" yang gerakannya cepat buat jawab pertanyaan ringan. Ada juga "staf ahli" yang dipanggil khusus buat ngerjain tugas berat yang butuh mikir dalam.

Kita, sebagai pengguna, tinggal kasih perintah. Nanti si "manajer" GPT-5 ini yang pinter-pinter milih staf mana yang paling cocok buat ngerjainnya. Simpel, kan? Tujuannya biar semua kerjaan beres dengan cara yang paling efisien.

Oke, Mari Kita Bedah Angkanya

Di luar konsep kerjanya yang baru, kekuatan sebuah AI tentu tetap ada pada angka-angkanya. Ini dia beberapa spesifikasi kunci dari GPT-5 yang paling menonjol:

  • Kapasitas Memori: Buat para developer, context window alias kapasitas "ingatan" jangka pendeknya lewat API bisa sampai 256.000 token. Gampangnya, itu cukup buat dia 'membaca' dan menganalisis seluruh isi novel tebal dalam sekali perintah. Kemampuannya untuk nggak lupa detail di tengah-tengah juga jauh lebih baik.
  • Jagoan Koding & Sains: Buat yang ngoding, ini kabar bagus. Angka-angka di benchmark koding dan matematika nunjukkin peningkatan tajam. Artinya, dia bisa jadi asisten yang lebih bisa diandalkan buat mecahin masalah teknis yang rumit.
  • Penyakit Lama yang Mulai Sembuh: Masalah klasik AI yang suka "ngarang" bebas (halusinasi) katanya sih sudah ditekan jauh. Klaimnya, 45% lebih jarang ngawur dibanding GPT-4o. Ini penting, karena artinya kita bisa mulai sedikit lebih percaya sama jawabannya.

Lalu, di Mana Letak Masalahnya?

Dengan mesin secanggih itu, kok bisa banyak yang protes? Jawabannya ada pada satu hal yang nggak bisa diukur pakai angka: GPT-5 terasa kehilangan "jiwanya".

Ini persis seperti warung kopi langgananmu. Kamu balik lagi ke sana bukan cuma karena kopinya, tapi karena baristanya asyik, bisa diajak ngobrol. Tiba-tiba, baristanya diganti robot yang super cepat tapi dingin dan nggak bisa diajak bercanda. Kopinya mungkin sama, tapi rasanya jadi beda.

Itulah yang terjadi. Pengguna merasa jawaban GPT-5 jadi pendek, kaku, dan tanpa emosi. Ada beberapa penyebabnya:

  • "Operasi" yang Disengaja: Sepertinya, dalam upaya membuat AI lebih aman dan nggak ngawur, OpenAI sengaja "memotong" bagian-bagian yang membuatnya kreatif dan punya kepribadian. Hasilnya? AI yang lebih patuh, tapi juga lebih membosankan.
  • Si "Manajer" Lagi Error: Sam Altman, bosnya OpenAI, mengakui kalau sistem "manajer"-nya lagi ada bug. Jadi, banyak perintah susah yang seharusnya dikasih ke "staf ahli", malah salah dikasih ke "staf junior". Pantas saja hasilnya sering terasa "kurang pintar".
  • Dipaksa "Move On": Yang bikin makin ramai, OpenAI menutup akses ke model GPT-4o yang disukai banyak orang. Pengguna merasa dipaksa memakai produk baru yang rasanya seperti sebuah kemunduran.

OpenAI Akhirnya Turun Gunung

Melihat badai protes ini, OpenAI akhirnya sadar. Sam Altman muncul dan menjanjikan beberapa hal: perbaikan bug, mengembalikan akses ke GPT-4o, dan melonggarkan batas pemakaian untuk pelanggan berbayar. Sebuah tanda bahwa suara komunitas, kalau cukup keras, masih punya kekuatan.

Pelajaran dari Kisah GPT-5

Cerita GPT-5 ini jadi pengingat penting buat kita semua yang berkecimpung di dunia teknologi. Sebuah produk, apalagi yang interaksinya sangat personal seperti AI, tidak bisa dinilai hanya dari spesifikasi teknisnya.

Ada faktor "rasa" dan "kenyamanan" yang ternyata sama pentingnya. Kecanggihan mesin harus diimbangi dengan "hati" yang membuatnya terasa seperti mitra, bukan sekadar alat.

Ini jadi pertanyaan menarik buat kita semua. Ke depan, AI seperti apa yang sebenarnya kita cari? Yang paling cerdas, atau yang paling bisa 'klik' dengan kita?

—Alfian, dari Technokers Lab

Artikel populer

Contoh Penggunaan ChatGPT Buat Bantu Kegiatan Sehari-hari

Higgs Audio V2: Teknologi Suara AI yang Punya Emosi dan Karakter

Kenapa ChatGPT Sering Nggak Nyambung? Ini Cara Bikin Prompt yang Bener!